Sabtu, 06 Juni 2020

ASAL MULA MANUSIA

 

BAB II

ASAL MULA MANUSIA

 

A.   TEORI EVOLUSI MENGENAI ASAL MULA MANUSIA.

 

 

Yohannis Trisfant, MTh

 

Teori Evolusi adalah teori yang paling disukai oleh mereka yang tidak percaya untuk menjelaskan tentang asal mula manusia. Teori evolusi sendiri bervariasi bentuknya. Ada yang disebut teori evolusi ateistik atau humanistik dan ada juga teori teistik. [1]

Teori evolusi ateistik dimulai oleh Charles Darwin dan kemudian ditajamkan oleh ilmuwan yang lain. Teori ini berusaha menjelaskan asal mula manusia yang tanpa campur tangan Allah. Asal mula manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan terpisah dari proses supranatural. Manusia merupakan keturunan langsung dari satu spesies manusia kera yang sekarang ini ada. Manusia dan spesies manusia kera itu memiliki nenek moyang yang sama. Walaupun monyet-monyet sendiri tidak mengakui bahwa mereka adalah nenek moyangnya manusia namun teori Darwin tetap beranggapan bahwa manusia adalah keturunan dari binatang yang lebih rendah, baik tubuh maupun jiwanya, melalui sebuah proses yang alamiah yang sempurna dan diatur secara langsung oleh kekuatan yang terus menerus ada. Ada sebuah kesinambungan antara dunia hewan dan dunia manusia. Tidak ada sesuatu yang mutlak baru dalam proses ini. Apa yang ditemukan sekarang ini pada manusia, juga ada pada hewan bersel satu apapun yang darinya segala sesuatu berkembang [2] Ada beberapa argumentasi yang dipakai untuk mendukung pandangan teori evolusi ateistik ini.[3]

1. Anatomi perbandingan. Anatomi manusia dan anatomi hewan bertulang belakang memiliki kesamaan-kesamaan. Hal ini mendukung pandangan bahwa manusia berasal dari hewan. Pandangan ini sulit kita terima karena, kesamaan anatomi tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa manusia berasal dari hewan. Justru ini menunjukkan adanya satu Pencipta yang menciptakan manusia dan hewan. Sang Pencipta sama seperti seorang musisi besar yang membuat berbagai macam komposisi dari satu tema yang sama dan diulang-ulang dan setiap pengulangan selalu dengan variasi yang berbeda. Satu anatomi dibuat menjadi berbagai macam variasi, baik itu manusia maupun hewan.

2. Organ-organ yang tertinggal. Di dalam tubuh manusia terdapat organ-organ seperti amandel, usus buntu, kelenjar timus yang tidak berguna. Sebelum evolusi menjadi manusia, organ-organ ini dibutuhkan, namun setelah berevolusi maka organ-organ itu tidak lagi berfungsi. Namun saat ini ketika pengetahuan berkembang, telah ditemukan kegunaan dari organ-organ tubuh manusia tersebut. Dan kalaupun saat ini ada yang belum bisa kita pahami, maka ini disebabkan karena pengetahuan manusia belum berkembang sampai ke tahap tersebut. Culp mengatakan:”hanya karena kita belum memahami sepenuhnya kegunaan berbagai organ tubuh ini, tidaklah berarti bahwa kita berhak mempertanyakan kebijaksanaan Sang Pencipta yang menempatkannya di dalam tubuh kita.[4]

3. Embirologi. Janin manusia berkembang sesuai dengan binatang, yakni dari organisme bersel satu menuju ke spesies dewasa. Hal ini sama dengan perkembangan cacing, ikan. Namun penelitian menunjukkan bahwa banyak ketidaksamaan perkembangan manusia dengan cacing, ikan. Justru, perkembangan–perkembangan yang sering terjadi adalah kebalikan dari yang diduga sebelumnya. Cacing tanah memiliki sirkulasi darah namun tidak memiliki jantung. Sedangkan dalam janin manusia, jantung terlebih dahulu ada kemudian barulah peredaran darah.

4. Test  darah. Ada kesamaan antara darah manusia dan hewan, sehingga terdapat hubungan genetis antara manusia dan hewan. Akan tetapi hal ini tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bahwa terdapat hubungan genetis antara manusia dengan hewan. Alasannya adalah test yang dilakukan hanyalah pada bagian steril dari darah, yakni serum, dimana serum ini tidak berisi materi hidup. Sedangkan yang berisi faktor keturunan adalah bagian padat dari darah yang berisi darah merah dan darah putih. Dan dalam test yang lebih modern, dengan memakai spektroskop, dimana seluruh bagian darah diuji, akhirnya ditemukan adanya perbedaan esensial antara darah manusia dengan darah hewan.

5. Paleontologi. Penelitian terhadap fosil-fosil sejak zaman Prakambrium dan seterusnya, dipakai untuk menunjukkan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Ilmuwan masa kini mengklaim telah menemukan sebagian dari tulang-tulang manusia yang sangat kuno. Mereka telah merekonstruksi ulang manusia-manusia ini dan menghasilkan manusia jawa (Pithecanthropus Erectus), manusia Heidelberg (Homo Heidelbergensi), manusia Neandertal (Homo Neanderthalensis), manusia Cro-Magnon, manusia Piltdown dan sebagainya. Namun masalahnya adalah, hanya sedikit tulang yang ditemukan dari jenis manusia kuno itu, dan bahkan tulang yang sedikit itupun masih tersebar di berbagai tempat sehingga belum pasti bahwa tulang-tulang itu berasal dari tubuh yang sama. Semua ini hanya menunjukkan kecekatan dari ilmuwan yang menyusunnya. Banyak ahli yang mengatakan bahwa tulang-tulang itu bisa jadi tulang manusia tetapi bisa jadi juga tulang hewan. Dr. Wood, professor anatomi dari Universitas London mengatakan:’ saya tidak pernah menemukan pekerjaan yang lebih tidak berguna daripada ilmu Antropologi, sebab pekerjaan mereka hanyalah menyusun, mewarnai atau menggambar lukisan-lukisan dari khayalan yang menakutkan dan memberikan hasil yang keliru dari kenyataan.[5] Penganut evolusi ateistik juga tidak bisa menjelaskan dengan tuntas asal mula pikiran manusia, bahasa, hati nurani, dan agama. Bagaimana bahasa, hati nurani dan intelegensi hewan bisa berkembang sampai sama seperti manusia ? Jadi teori darwin bukan lagi menjadi sebuah ilmu tetapi sudah menajdi teori filosofis. Evolusi sudah merupakan tindakan iman, yakni beriman bahwa manusia berasal dari hewan. Banyak ahli berpendapat bahwa teori Darwin sama sekali tidak mempunyai fakta apapun yang dapat menunjang kebenaran teori itu. Semuanya hanya hasil khayalan. Jadi ilmu pengetahuan tidak tahu dan tidak punya bukti yang cukup, bagaimana dan dimana serta kapan manusia itu mulai muncul. Jika ada pengetahuan yang benar tentang manusia, maka hal itu datang bukan dari antropologi modern, melainkan dari antroplogi teologis.

Mengapa golongan ateistik memperjuangkan teori bahwa manusia berasal dari hewan dan bukan diciptakan oleh Allah? Alasannya adalah kalau tidak ada Allah yang menciptakan dunia ini, maka manusia tidak perlu bertanggungjawab kepada Allah dan apabila teori evolusi ateistik ini benar, maka tidak ada kemutlakan moral yang harus ditaati manusia.

Lalu bagaimana dengan teori evolusi teistik? Teori ini memiliki pandangan bahwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia secara bertahap berevolusi dari bentuk yang lebih rendah dan proses itu di pimpin oleh Allah. Mereka beranggapan bahwa teori evolusi hanyalah sebagai suatu metode dimana Allah bekerja dalam menciptakan manusia. Teori evolusi teistik menerima penemuan-penemuan ilmiah dan berusaha untuk mengharmonisasikan hipotesa evolusi dengan Alkitab. Mereka berpandangan bahwa Allah membuat tubuh manusia dari tubuh hewan, yang bagaimanapun juga adalah debu (Kej 2:7). Jadi benar apa yang dituliskan Alkitab bahwa manusia berasal dari debu, karena manusia berasal dari hewan dan hewan berasal dari debu, sehingga bisa dikatakan bahwa manusia juga berasal dari debu. Lalu bagaimana dengan jiwa dan pikiran manusia? Mereka berpandangan bahwa hanya tubuh manusia saja yang berasal dari proses evolusi hewan, sedangkan jiwa yang rasional diberikan oleh Allah. Teori evolusi teistik ini sudah bukan lagi teori evolusi yang murni.  Teori ini ditolak baik oleh golongan evolusi ateistik atau humanistik maupun oleh orang-orang yang Alkitabiah. Penganut evolusi ateistik atau humanistik memberikan kritik bahwa evolusi teistik tidak memandang serius hal-hal yang ilmiah, oleh karena apa yang tidak bisa dijawab oleh ilmiah, dilemparkan kepada Allah.

 

Yohannis Trisfant, MTh

 



[1] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, buku pegangan teologi (Malang: SAAT,2003)371

[2] Louis Berkhof, Teologi Sistematika, Doktrin Manusia (Jakarta: LRII, 1995)9

[3] Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2000)232

[4] Culp, G. Richard. Remember Thy Creator. Grand Rapids: Baker 1975)

[5] dikutip oleh Berkhof, teologi sistematika, 15


Tidak ada komentar:

Posting Komentar